Tanggal 1. Tepat seminggu setelah tanggal gajian yang mengalirkan
pundi-pundi rupiah ke rekeningmu. Atau bagi mahasiswa yang orang tuanya
karyawan swasta, tepat seminggu pula “nyawa” dari rumah kamu nikmati di
tanah perantauan.
Pagi tadi kamu mampir ke ATM sebentar sebelum beranjak ke rumah
makan. Otakmu berhitung dengan cepat, mengkalkulasi pemasukan dan
pengeluaran. Sembari mengambil lembaran 50 ribu dari rekeningmu kamu
tersenyum — sedikit geli, sedikit pilu: 1 minggu, dan uang hasil kerja
keras itu menguap begitu saja tanpa mau menunggu.
Orang bilang mereka yang bisa mensyukuri nikmat akan mendapat limpahan berkat berkali-kali lipat. Pertanyaannya: apakah keterbatasan ini harus disyukuri? Atau kamu harus bersujud, menengadahkan tangan untuk meminta lebih banyak lagi?
Sejak kecil kita sudah dibentuk jadi generasi yang menghasilkan. Selama nilai tinggi didapatkan, tak ada lagi pertanyaan
Sedari belia tanpa sadar kita dibesarkan dalam program menjadi
“manusia yang menghasilkan.” Lihat saja bagaimana sistem ranking, Ujian
Nasional, sampai sistem penerimaan mahasiswa baru memaksa kita
berlomba-lomba memperoleh nilai tertinggi. Jika nilai tidak mencukupi
silahkan pergi, ambil giliran untuk masuk kategori warga negara kedua di
negeri ini.
Alasan menimbulkan semangat dengan cara berkompetisi tentu terdengar
masuk akal. Tapi bukankah menggelikan jika hanya hasil yang menentukan
keberhasilan? Seolah-olah kita ini ayam petelur yang hanya dilihat
berdasarkan beratnya timbangan sebelum dipotong. Orang dengan mudah
melupakan proses di baliknya, tak ada yang mau melihat bagaimana
jungkir-balik kita sebagai manusia.
“Mama, aku sudah belajar keras tapi nilaiku masih 4,5.”
akan membuat Ibu-Ibu kita tipis tersenyum bangga, sembari tetap
menyelipkan rasa kecut di dalamnya. Setelahnya akan ada sederet
pertanyaan menyusul: “Kok bisa?”; “Kamu kurang konsentrasi belajar ya Kak?”; “Mau Mama ikutkan les?”. Bandingkan dengan ucapan macam ini,
“Mama, aku dapat 9,5 di ulangan Matematika tadi.”
Nilai 9,5 sempat membuat orangtua kita diam. Nilai tinggi terbukti membungkam, jarang kita dapatkan pertanyaan: “Kamu gak nyontek ‘kan?” atau “Kamu kurang tidur nggak sampai bisa dapat nilai bagus begini?” Dari
proses belajar macam ini wajar jika kita tumbuh jadi generasi pencapai berusaha mengumpulkan sebanyaknya, meraih target semampu yang kita
bisa. Sebab menghasilkan sedikit terbukti tidak akan membuat orang-orang
di sekitar bangga.
Hidup berkembang. Keberhasilan berubah jadi soal kepemilikan. Seberapa banyak pencapaian dan prestasi yang bisa kamu kumpulkan
Waktu berlalu. Kamu, saya: kita — beranjak jadi manusia dewasa. Definisi
soal pencapaian berganti dengan segera. Bukan lagi soal nilai yang
membuat orang-orang di sekitar bangga, harga diri kita kini ditentukan
oleh apa yang kita miliki sebagai manusia.
Seperti tren fashion, pertanyaan itu akan berganti ketika sudah mulai bekerja dan sedang berusaha mapan sebagai orang dewasa:“Lulusan universitas mana? Lulus berapa tahun? Cumlaude?”
“Kamu kerja apa?”
“Gajinya berapa?”
“Perusahaanmu menawarkan kompensasi apa saja? Menarik kah jaminan kesehatan dan kesejahteraannya?”
“Sudah punya rumah? Sudah punya uang muka untuk cicilan KPR?”
Sebagai manusia kita tak ubahnya etalase penuh lampu. Semua
pencapaian tertempel di atas badan, dihiasi penerangan, agar orang tak
dikenal pun bisa dengan mudah melihatnya dari kejauhan.
Tidak ada orang yang bertanya apa yang menyebabkanmu lulus 7 tahun demi gelar Sarjana: bekerja kah?, ada masalah kah?
Dunia ini terlalu sibuk untuk meluangkan waktu, sehingga dia yang
bergaji di bawah 2 juta karena menuruti idealisme dianggap pemalas.
Dipaksa berlari, karena biaya cicilan rumah akan semakin tinggi dari
hari ke hari dan anggaran pampers anak tak bisa menunggu lagi.
Sebab selama kamu memiliki apa yang orang lain anggap pantas kamu terima, kamu sudah berhasil sebagai manusia.
Kita terlalu sibuk menghitung. Sampai lupa bahwa dalam banyak hal kita hanya termasuk golongan manusia yang beruntung
Lambat laun template bahwa keberhasilan selalu sejalan dengan apa yang kita dapatkan membuat kita jumawa. Kita merasa bahwa semua yang dimiliki saat ini adalah hasil dari perjuangan keras sebagai manusia. Dapat nilai baik, kita-kita yang mahasiswa berkoar-koar di sosial media,
“Akhirnya kebayar juga jam tidur gue yang kurang. Hukum Perdata dapat A…”Ketika dapat kesempatan naik jabatan atau kesempatan beasiswa ungkapan yang hampir sama kamu baurkan ke udara,
“All the hardwork paid off. New journey, I’m coming!”
Kamu, saya — kita adalah manusia yang pelupa. Kita terlalu sibuk
dengan gawai mentereng di hadapan sehingga tak punya waktu untuk bermain
peran. Bukankah ada kebaikan dari tangan yang lain di balik setiap
pencapaian? Bukankah ada hal yang tak kasat mata yang sudah mengatur
semuanya?
Sepintar apapun kamu jika kamu lahir di tengah keluarga petani tomat
kepandaian itu maksimal akan berujung pada gelar SMK. Tak bisa
dibanggakan untuk mendapatkan nilai A di mata kuliah Hukum Perdata.
Jika saja kamu tak punya uang untuk kuliah, kesempatan kerja jadi MT
di perusahaan multi nasional ternama tak akan pernah tiba. Apa lagi
membayangkan bisa dapat beasiswa — terlampau jauh rasanya.
Jika mau jujur kita-kita ini hanyalah butiran remah Malkist Abon di dunia. Sementara Tuhan adalah sutradara yang tak ada duanya. Segala hal yang kamu, saya — kita dapatkan saat ini adalah buah tangan dari kemurahanNya.
Tanpa garis takdir yang baik, kita semua tak lebih dari ekor mungil itik buruk rupa yang makin mengkerut karena kehilangan induknya.
Rasanya terlalu kecil jika syukur hanya dipanjatkan setelah pencapaian terkabulkan. Terlampau dangkal jika kita terus meminta tanpa pernah tahu berterima kasih pada Sang Pemberi Segala
Bagaimana jika kita membuat pakta sesama penulis dan pembaca? Bahwa
mulai hari ini kita akan sama-sama mengucap syukur atas berbagai
spektrum rasa yang menghampiri tanpa perlu diminta. Bahwa kita berjanji
untuk melihat segalanya lebih dari sekadar kulitnya saja.
Setiap uang menipis walau masih di awal bulan kita akan sama-sama menundukkan kepala dan bersyukur: sebab kita diijinkan bekerja lebih keras dalam 20 hari ke depan. Kita berbaik sangka pada Tuhan bahwa Dia akan memberi keajaiban.
Ketika nilai ujian tak sesuai harapan atau kita gagal mendapatkan
impian yang sudah gigih diperjuangkan, kita akan sama-sama diam dan
bersyukur. Sebab Tuhan menginginkan kita jadi pejuang. Ia tahu kita
hambaNya yang penyabar dan punya jiwa pemenang.
Saat keluhan karena macet atau lelah hendak meluncur dari jemari tangan ke sosial media, kita akan mengambil nafas dan kemudian mengucap syukur. Paling tidak kita masih menghadapi macet di atas kendaraan. Tak harus kepanasan menunggu bus yang terlambat datang di pinggir jalan.
Waktu hidup terasa datar dan sepi karena tak ada yang mendampingi,
kita akan mencari tempat hening untuk bersujud dan bersyukur. Tuhan tahu
kita masih mampu. Pendampingan itu Ia tangguhkan sampai kepasrahan
membentuk kita jadi calon pendamping nomor satu.
…dan untuk hal-hal yang belum kita paham harus dirutuki atau disyukuri - yakinilah satu hal: Tuhan tahu, Ia hanya menunggu
Tepat di momen kita sibuk mengeluh dan berkeluh kesah pada dunia yang
sesungguhnya tak begitu suka dengan kisah berbalut duka Dia tetap
bekerja dengan tangan ajaibNya. Dalam diam berusaha mengarahkanmu ke
jalan terbaik menurutNya, yang selama ini tak mampu terbaca oleh
keterbatasan inderamu sebagai manusia.
Dia hanya terkikik geli setiap kita mengeluh tiada henti. Dia akan
tersenyum takzim setiap tahu kita memilih bersyukur dibanding mengeluh
dan menghabiskan energi. HatiNya lembut, hingga syukur bisa jadi
penggerak kendali takdir ke arah yang sebelumnya tak terbayang sama
sekali.
Dia selalu tahu, Dia hanya menunggu. Dan bukankah tetap bersyukur di
ruang penantian akan membuatmu bertahan tanpa merasa kelelahan?
Kami memilih bersyukur Tuhan,
karena kami mempercayaiMu.
No comments:
Post a Comment